Sabtu, 21 Maret 2009

Tidak Taat, dan Menyesal...

Kalo kita mengikuti dan memperhatikan betul perjalanan bangsa Israel menuju ke Tanah Pejanjian, maka kita akan mendapati berkali-kali bangsa Israel tidak taat pada perintah Allah. Mereka bersungut-sungut sepanjang perjalanan mereka, berulang kali mereka mengobarkan murka Allah atas mereka. Salah satu dari sekian banyak peristiwa yang cukup menarik bagi saya adalah kisah yang terdapat dalam Kitab Ulangan 1:41-46 yang menceritakan tentang betapa gegabahnya bangsa Israel yang tidak menaati perkataan Tuhan Allah. Perikop sebelumnya menceritakan tentang keduabelas pengintai yang dikirim Musa untuk memata-matai orang Enak, yaitu bangsa yang mendiami tanah yang telah Tuhan janjikan kepada Musa. Dari keduabelas pengintai tersebut, hanya dua orang yang beriman bahwa mereka akan sanggup mengalahkan bangsa Enak dan menduduki tanah perjanjian. Mereka adalah Kaleb bin Yefune dan Yosua bin Nun. Ketidakpercayaan bangsa Israel ini membuat Allah murka dan berfirman, bahwa angkatan tersebut tidak akan menduduki tanah perjanjian, melainkan tanah perjanjian itu akan diberikan kepada keturunan Kaleb dan Yosua.
Ulangan 1:41-46 ini merupakan kelanjutan dari kisah tersebut. Dalam cerita ini, bangsa Israel menyesal atas ketidakpercayaan mereka akan kuasa Allah, dan dengan penuh semangat (karena Allah telah menjanjikan kemenangan bagi mereka) dan tanpa berpikir panjang, mereka melangkah maju dan menabuh genderang perang terhadap orang Enak. Karena emosi yang tak terkendali, mereka mengabaikan pesan Tuhan yang disampaikan melalui Musa, hamba-Nya. Sebagai akibatnya, bangsa Israel mengalami kekalahan dan banyak korban yang gugur dalam perang ini. Mereka menyesal dan bersedih karena mereka kehilangan banyak hal, namun Tuhan tetap tidak mendengar tangisan mereka.

Perenungan untuk kisah ini adalah:
Seringkali kita bertindak seperti bangsa Israel. Ketika menghadapi sebuah masalah, hal pertama yang lebih kita perhatikan adalah seberapa besar tantangan yang harus kita hadapi, seberapa besar masalah yang sedang terjadi. Kita lupa bahwa yang menjadi pelindung kita adalah Bapa Sorgawi, Pencipta seluruh alam semesta yang berkuasa atas segala hal di bumi dan di surga. Bukannya bertanya pada Tuhan: 'Apa yang harus aku lakukan?' kita malah bersungut-sungut bahkan mungkin memaki-maki Tuhan: 'Mengapa terjadi hal yang demikian dalam hidupku?!'. Detik berikutnya, kita menyadari betapa egoisnya kita dan berpaling kepada jalan Tuhan dan menjadi percaya, namun kita masih melangkah dengan kekuatan kita sendiri, bukan kekuatan Tuhan. Dan untuk kedua kalinya kita tidak menaati perintah Tuhan, kita tidak dengar-dengaran akan suara Tuhan. Pada akhirnya ketika kita telah jatuh dan terpuruk, barulah kita berseru setengah mati mengharapkan perhatian dan pertolongan Tuhan. Tapi kali ini Tuhan memilih untuk diam.
Secara prbadi, saya memperoleh pelajaran dari kisah dan perenungan ini:
1. Pandanglah permasalahan dengan mata iman kita dan berpeganglah pada iman percaya kepada Allah. Jangan memandang masalah dengan ukuran kekuatan diri sendiri, tapi belajarlah untuk melihat masalah dari sudut pandang Allah. Karena terkadang permasalahan diizinkan untuk terjadi dalam hidup kita untuk membentuk karakter dan mengembangkan kapasitas kita.
2. Cari tahu isi hati-Nya dan rencana-Nya bagi hidup kita. Jangan berjalan dengan rencana kita sendiri, tapi belajarlah untuk mencari tahu apa yang menjadi rencana Tuhan bagi hidup kita, cari tahu apa yang Tuhan ingin kita lakukan untuk mengatasi permasalahan. Jangan gunakan cara kita, tapi gunakan cara Allah, maka segala usaha kita akan dibuat-Nya berhasil.
3. Ketaatan kita kepada Allah akan menjauhkan kita dari penyesalan, karena Allah kita adalah Allah yang tidak pernah mengecewakan. Dia tak pernah gagal!

Tuhan memberkati...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar